PENGERTIAN DAKWAH

Pengertian dakwah secara etimologis (menurut arti bahasa) ialah seruan atau undangan. Secara terminologis (menurut istilah) ialah seruan Allah dan RosulNya kepada para manusia untuk memenuhi panggilannya agar melaksanakan perintahnya dan menjauhinya dan menjauhi larangannya. Dalam hal ini orang-orang yang sudah memenuhi panggilan Allah dan RosulNya juga dianjurkan untuk menyeru atau menyampaikan kepada orang lain hingga terus menerus sampai akhir masa.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 24:
يَاآيُّهَا  الَّذِيْنَ أَمَنُوا اسْتَجِيْبُوْا للهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْ. (الأنفال: 24).
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman penuhilah panggilan bila Allah dan Roasul memanggilmu kepada apa yang menghidupkanmu.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
أُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ اَحْسَنْ. (النحل: 125).
Artinya:
Serulah (semua umat manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan tutur kata yang baik dan berdialoglah (tukar pendapat) dengan mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl: 125).
Rosulullah juga bersabda:
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ أَيَةً. (الحديث).
Artinya:
Sampaikan apa yang datang dariku walau satu ayat.
Dengan demikian maka orang yang menyampaikan dakwah bisa disebut mubaligh atau mubalighoh juga bisa disebut da’i atau da’iyah. Agar dakwah yang disampaikan itu bisa efesien/tepat guna, tepat sasaran serta dapat diterima pada orang-orang yang didakwahi maka seorang da’i ataumubaligh harus memiliki tentang ilmunya dakwah terlebih dahulu. Karena tanpa memiliki ilmunya dakwah, dakwah tidak akan bisa diterima.
Adapun bekal yang harus dimiliki oleh seorang da’i atau mubaligh sebelum melaksanakan dakwah ialah diantaranya:
a.      Kemampuan pribadi yang menyangkut kesehatan fisik jasmani atau rohani.
b.      Menguasai materi atau bahan pokok pembicaraan yang akan disampaikan.
c.      Memiliki ilmu-ilmu yang luas yang berkaitan dengan ilmu dakwah, lebih-lebih ilmu sastra dan bahasa.
Kadang-kadang ada seorang da’i yang bicaranya kelihatan lancar, tegas, tapi sastra bahasanya kurang diperhatikan seshingga kurang enak untuk didengar. Karena kurang praktis dalam menyusun bahasa. Disini kami jelaskan sedikit tentang kata-kata yang kurang praktis atau kurang enak didengar tapi sudah terbiasa diucapkan oleh seorang mubaligh dan juga kami jelaskan kata-kata yang praktis yang enak didengar, diantaranya:
a.      Ucapan salam
Dalam hal ini banyak orang berpidato setelah datang di podium langsung memberi penghormatan dulu kepada para hadirin, setelah itu baru mengucapkan salam. Hal ini kurang praktis bila dilakukan. Yang praktis adalah salam dahulu sebelum kalam (berbicara apa-apa)
b.      Al-Mukarrom (اَلْمُكَرَّمْ)
Dalam hal ini banyak orang yang mengucapkan Al-Muharom (اَلْمُحَرَّمْ) ini tidak benar, yang benar tetap اَلْمُكَرَّمْ (Al-Mukarrom), juga Al-Mukarrom itu lafal yang mufrod untuk memberi penghormatan kepada satu orang. Maka kurang praktis kalau setelah Al-Mukarrom di ucapkan para Alim Ulama’ karena para Alim Ulama’ itu jama’ atau orang banyak. Yang praktis kalau Al-Mukarrom (اَلْمُكَرَّمْ) itu untuksatu orang, kalauAl-Mukarromun (اَلْمُكَرَّمُوْنَ) itu untuk orang banyak. Juga boleh حَضْرَةَ الْمُكَرَّمْ atau حَضْرَةَ الْمُكَرَّمِيْنَ hal ini membuang حَرْفُ النِّدَاءْ (huruf nida’)
Asalnya يَا حَضْرَةَ الْمُكَرَّمْ، يَا حَضْرَةَ الْمُكَرَّمِيْنَ، يَا مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ
Menurut ilmu Nahwu kalau munada (مُنَادَى) yang di undang itu jauh memakai huruf ya, kalau dekat membuang huruf ya (حَرْفُ النِّدَاءْ)
c.       Santriwan / santriwati
Hal ini sering di ucapkan orang yang pidato untuk menyebut santri putra dan santri putri. Dalam hal ini kurang praktis, mestinya yang disebut santriwan itu Kyainya seperti halnya sebutan hartawan ini sebutan orang yang banyak hartanya. Wartawan itu orang yang banyak wartanya. Jutawan itu orang yang banyak jutaannya dan lagi sastrawan itu orang yang banyak sastra bahasanya. Ilmuwan itu orang yang banyak ilmunya. Maka kalau santriwan itu orang yang banyak santrinya berarti pak kyai. Maka santri putra dan putri tidak usah disebut santriwan dan santriwati, tetapi tetaplah disebut santri putra dan santri putri, dan lagi wati itu sudah ada artinya sendiri dalam kitab kuning.
d.      Puja dan puji syukur kami panjatkan
Kata-kata ini sering kali di ucapkan oleh orang pidato, padahal dua kata tersebut adalah artinya sama. Di dalam sastra bahasa arab dijelaskan bagi mutakallim (orang yang bicara) hendaknya meringkas kata-kata karena dikhawatirkan memperbanyak kata tapi artinya sedikit. Maka kalau sudah mengucapkan puji tidak usah puja kalau sudah puja tidak usah puji karena kedua lafal tersebut disebut murodif (sinonim) atau searti.
Seperti halnya اَلثَّنَاءْ dan اَلْحَمْدُ juga dua lafal yang searti. Maka di dalam permulaankitab-kitab kuning tidak ada musonif yang menulis أَحْمَدُ وَأَثْنَاءُ للهِ atau kami memuji dan memuja kepada Allah itu tidak ada, tetap satu saja yang dipakai.
e.      Sholawat salam dan صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Katiga kalimah tersebut artinya sama saja, maka yang diucapkan cukup satu saja. Kadang-kadang orang berpidato ada yang mengatakan: yang kedua kalinya sholawat salam kami sanjungkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan ucapan اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ketiga kalimah tersebut kalau diucapkan semua terlalu memperbanyak perkataan namun artinya sedikit, memang membaca sholawat berkali-kali itu baik, tapi kalau acaranya kita berpidato usahakan bicara yang singkat tapi padat. Dan lagi sholawat salam kami sanjungkan atau kami curahkan kepada Nabi Muhammad, itu juga kurang praktis karena yang punya sholawat salam (rohmat keselamatan) itu yang punya Allah.bagi kita sebagai hamba maqomNya itu do’a dari bawah keatas itu meminta, maka kalau kita mengucapkan sholawat salam kami sanjungkan atau kami curahkan kepada nabi itu kurang praktis. Yang praktis hendaknya kita ucapkan semoga sholawat serta salam Allah selalu tetap dilimpahkan kepada nabi besar Muhammad beserta para ahli keluarga dan sahabatnya (cukup itu saja tidak usah diberi tambahan s.a.w dan lagi dengan ucapan اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
f.        Untuk menyingkat waktu
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh pembawa acara setiap akan memulai acara misalnya untuk menyingkat waktu marilah acarasegera kita mulai. Mengucapkan hal tersebut kurang praktis karena selamanya waktu itu tidakbisa disingkat. Setiap satu jam tetap 60 menit, setiap satu hari tetap 12 jam, setiap satu hari satu malam tetap 24 jam dan seterusnya. Maka kalau waktu yang sudah terlalu malam hendaknya yang disingkat itu perkataanya jangan terlalu banyak komentar. Seperti halnya kalau kita pergi jauh yang bisa disingkat atau di qhoshor itu sholatnya bukan waktunya.
g.      Langsung لَهُمُ الْفَاتِحَةْ
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh pembawa acara setiap membuka acara, misalnya marilah acara pertama kita buka dengan bacaan ummul Qur’an  لَهُمُ الْفَاتِحَةْ hal ini kurang praktis karena lafal هُمْ itu adalah isim dlomir yang ruju’ atau kembali kepada isim jama’ mudzakar salim yang harus ditutur sebelumnya. Maka kalau dimuka tidak menuturkan nama siapa-siapa atau tidak mengkhususkan nama seseorang yang diberi hadiah fatihah, kok langsung لَهُمُ الْفَاتِحَةْ itu nanati dlomir هُمْ akan ruju’ kemana? Lain halnya kalau kita sudah mengkhususkan beberapa nama orang itu boleh, misalnya: خُصُوْصًا اِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةْ
Makanya kalau kita tidak mengkhususkan nama siapa-siapa dimuka langsung saja kita mengucapkan: para hadirin marilah acara pertama kita buka dengan bacaan ummul Qur’an اَلْفَاتِحَةْ begitu saja tidak usah لَهُمُ الْفَاتِحَةْ
h.      Gema wahyu Ilahi
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh pembawa acara setiap akan dibaca ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini juga kurang praktis karena gema itu adalah suara yang memantul-mantul dan suara yang memantul-mantul itu belum tentu Al-Qur’an. Maka yang praktis langsung saja ucapkan acara yang kedua yaitu pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Maka yang praktis sebutlah pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an tidak gema wahyu Ilahi.
i.        Menginjak acara yang ketiga
Kata-kata ini juga biasa diucapkan oleh pembawa acara. Hal ini juga kurang praktis. Semestinya acara itu dilangsungkan atau ditingkatkan tidak diinjak-injak. Yang praktis hendaknya pembawa acara mengucapkan untuk melangsungkan atau meningkat ke acara yang ketiga yaitu prakta panitia.
j.        Kepada yang bersangkutan dipersilahkan
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh pembawa acara setiap mempersilahkan masing-masing petugas pengisi acara. Dalam hal ini juga kurang praktis karena sangat membikin penasaran dan bikin bingung yang penuh tanda tanya bagi para pendengar. Lebih baik dijelaskan saja siapa nama petugasnya dan alamatnya. Contohnya: untuk acara yang kedua pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang akan disampaikan oleh ustadz H. Mu’ammar dari Jakarta, kepada Al-Ustadz H. Mu’ammar dipersilahkan.
k.       اَلْمَرْحُومْ dan اَلْمَغْفُورْ لَهْ
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh orang pidato setiap acara haul. Misalnya para hadirin pada malam ini kita memperingati haulnya اَلْمَرْحُومْ / almarhum mbah haji umar atau اَلْمَغْفُورْ لَهْ mbah haji umar. Hal ini kurang praktis karena اَلْ itu adalah: حَرْفُ أَدَاتِ التَّعْرِيفْ atau huruf perabot ma’rifat kalau اَلْ itu masuk isim nakiroh berarti ال itu merubah kenakirohan isim tersebut menjadi ma’rifat, yakni merubah lafal yang umum (tidak khusus) menjadi lafal yang khusus (tertentu). Padahal orang yang sudah mati kita kan tidak tahu persis keadaannya disana dan keadaan masa hidupnya apakah dia tergolong orang yang baik yang dikasihi Allah atau tidak. Apakah dia tergolong orang yang diampuni atau tidak. Kita kan tidak tahu, makanya kalau kita langsung mengucapkan اَلْمَرْحُومْ atau اَلْمَغْفُورْ لَهْ berarti kita sudah memastikan bahwa keadaan si mayit tersebut pasti dikasihi dan diampuni Allah di alam kuburnya. Dalam hal ini bila kita ucapkan seperti itu kurang praktis, karena kita tidak tahu persis keadaan si mayit disana, maka yang praktis hendaknya kita ucapkan dengan kata-kata yang sifatnya mendo’akan atau kalam do’a, misalnya: para hadirin pada malam ini kita memperingati haulnya mbah haji umar رَحِمَهُ اللهْ atau غَفَرَهُ اللهْ artinya semoga Allah mengasihinya atau semoga Allah mengampuninya. Seperti halnya dalam kitab-kitab kuning itu disebutkan: قَالَ الْمُصَنِّفْ رَحِمَهُ اللهْ atau قَالَ اِمَامُ الْغَزَالِى رَحِمَهُ اللهْ tidak disebutkan قَالَ الْمُصَنِّفْ اَلْمَرْحُومْ dan tidak pula قَالَ اِمَامُ الْغَزَالِى اَلْمَغْفُورْ لَهْ
l.        فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا حَتَّى اْلأَخِرَةْ
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh orang pidato setiap berdo’a, misalnya semoga kita mendapat ilmu yang manfaat maslahah فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا حَتَّى اْلأَخِرَةْ hal ini kurang praktis bila athof memakai hatta حَتَّى karena termasuk faedah lafal حَتَّى yaitu إِنْتَهَاءُ الْغَايَةْ atau untuk puncak perbatasan sesuatu misalnya orang berkata: saya memakan ikan asin mulai ekor hingga kepala, pemahaman hal ini kepala tidak ikut dimakan. Dan lagi orang berkata: saya pergi mulai surabaya hingga kediri, dalam hal ini kediri tidak dilalui. Makanya kalu عَطَفْ memakai حَتَّى itu kurang praktis. Yang praktis ialah memakai wawu, misalnya semoga kita mendapat ilmu yang manfaat maslahah فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةْ kalau athof memakai wawu sudah mencakup keseluruhannya.
m.    Apabila ada kesalahan kami baik yang kami sengaja atau tidak kami mohon maaf
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh orang pidato dalam hal ini juga kurang praktis karena setiap orang itu tentu punya kesalahan, berdasarkan hadits nabi:
اَلْإِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ
Artinya: manusia itu tempat salah dan lupa
Menurut ilmu nahwu ال yang masuk pada lafal اِنْسَانْ itu adalah اَلْ ma’rifat yang berfaedah اِسْتِغْرَاقْ الْجِنْسِ (menghabiskan jenis manusia). Tandanya apabila ada اَلْ masuk pada kalimah isim yang isim tersebut patut. Kemasukan lafal كُلٌّ yakni (كُلُّ اِنْسَاِن) اَلْإِنْسَانْ itu berarti menunjukkan bahwa semua manusia itu jelas mempunyai kesalahan. Nabi Adam saja mengakui punya kesalahan makanya kalau kita mengucapkan apabila ada kesalahan kami itu kurang praktis. Yang praktis hendaknya kita ucapkan atas segala kesalahan kami, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya lahir dan batin tidak usah ditambah baik yang kami sengaja atau tidak. Karena sengaja berbuat salah itu jelas tidak boleh menurut agama. Mengapa sudah tahu salah kok disengaja? Apalagi orang berpidato bila terjadi kesalahan jelas itu tidak disengaja. Tidak ada orang berpidato disengaja salah.
n.      وَبِاللهِ التَّوْفِيْقِ وَالْهِدَايَةِ dan وَاللهُ الْمُوَافِقُ اِلَى أَقْوَامِ الطَّرِيْقِ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Kedua kalimah tersebut biasa diucapkan orang pidato setiap mengakhiri pidatonya. Dalam hal ini kalau semua diucapkan juga kurang praktis karena kedua kalimah tersebut maksudnyasama saja. Usahakan berbicara yang singkat tapi padat, jangan memperbanyak kata tapi artinya sedikit.
Kalau وَبِاللهِ التَّوْفِيْقِ وَالْهِدَايَةِ dengan وَاللهُ الْمُوَافِقُ اِلَى أَقْوَامِ الطَّرِيْقِ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Dua kalimah ini maksudnya sama jadi yang dipakai atau yang diucapkan salah satu saja, kalau semua dipakai itu kurang singkat atau kurang إِجَازْ kita yakin Allah pasti tahu maksud kita.
o.      Terima kasih atas fatwa-fatwanya dan semoga atas fatwa-fatwa tersebut ada guna dan faedah bagi kita bersama
Kata-kata ini biasa diucapkan oleh si pembagi acara pada saat mubaligh selesai berpidato. Hal iniangat kurang praktis bila diucapkan, karena fatwa itu adalah ucapan seorang mufti dan seseorang bisa mencapai tingkatan mufti itu ada beberapa syarat tersendiri diantaranya mufti itu harus mujtahid (ahli dalam masalah-masalah hukum) dan lagi harus hafala tiga ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya dan juga harus faham tentang perbedaan beberapa madzhab dan masih banyak lagi syarat-syarat lain yang harus dimiliki seorang mufti. Maka kalau sekiranya mubaligh belum mencapai tingkatan mufti ucapannya tidak usah disebut fatwa, tapi sebutlah mauidzoh hasanah atau pitutur yang baik begitu saja tidak usah disebut fatwa. Dan lagi ucapan semoga ada guna dan faedahnya atas fatwa-fatwa tersebut. Kata-kata ini juga kurang praktis bila diucapkan, karena seakan menngecilkan atau menganggap remeh pada mauidzoh yang telah disampaikan oleh mubaligh. Sebenarnya semua mauidzhoh dan semua nasehat itu berguna dan berfaedah bagi kita semua hanya saja kita itu kadang-kadang merasa keberatan untuk melakukan atau kadang memang lupa atau malas sehingga tidak melakukan maka setelah mubaligh menyampaikan pidato janganlah diucapkan semoga pidato tersebut ada guna dan faedahnya tapi ucapkanlah semoga atas mauidzhoh tersebut kita dapat melaksanakannya atau semoga menambah ilmu pengetahuan kita dapat kita amalkan sebagai ibadah yang diterima disisi Allah. Amin Ya Robbal 'Alamin.